SPIRITUAL LEARNING
1.1 Latar Belakang
Bagi orang Indonesia konflik adalah suatu hal yang harus dihindari. Dan
dimata orang Barat orang Indonesia selalu menghindari konflik dengan cara bermusyawarah. Tetapi hal itu sebenarnya kurang benar, karena
secara empirik, orang Indonesia juga sering berkonflik dan jarang menggunakan
musyawarah untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Contohnya adalah seperti
pada konflik Maluku-Ambon yang terjadi pada tahun 1999-2002 yang telah memakan
banyak korban.
Merupakan potret buram hubungan Islam dan Kristen
di Indonesia. Persaingan antara pemeluk Islam dan Kristen sebenarnya telah ada
semenjak era kolonial, tetapi baru pada Era Reformasi persaingan tersebut
berubah menjadi konflik berdarah. Kebijakan untuk menghindari isu SARA di Era
Orde Baru ternyata berbuah ledakan konflik setelah tumbangnya kekuasaan Orde
Baru.
Konflik Poso umumnya dibagi menjadi tiga
fase. Fase pertama berlangsung pada tanggal 25-30 Desember 1998 dipicu oleh
penyerangan terhadap Ridwan (21 tahun) yang sedang tidur-tiduran di masjid oleh
tiga pemuda Kristen yang sedang mabuk. Peristiw atersebut kemudian disusul
dengan penyerangan oleh massa Herman Parimo ke sejumlah rumah milik warga
muslim. Peristiwa tersebut diakhiri dengan ditangkapnya Herman Primo yang
diadili pada awal Januari 1999.
Konflik Poso fase kedua terjadi pada 15-21
April 2002. Konflik jilid kedua dipicu oleh perkelahian antara pemuda Kristen
dan pemuda Islam. Peristiwa tersebut disusul dengan perusakan dan pembakaran
rumah, kios, serta bangunan sekolah milik warga Kristen dan mengakibatkan
pengungsian kalangan Kristen.
Konflik
Poso Fase ketiga terjadi pada 23 Mei-10 Juni 2001.kerusuhan tersebut dimulai
dengan kehadiran pasukan ninja pimpinan Fabianus Tibo. Pada pertengahan Mei
mulai terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok Tibo.Puncaknya adalh
pembunuhan sekitar 200 santri di Pesantren Walisongo.
Konflik Poso
mengakibatkan 504 orang meninggal, 313 orang terluka, dan sebanyak 7022 rumah
terbakar, 1378 rumah rusak berat dan 690 rumah rusak ringan, 31 tempat ibadah
rusak, sebuah Pesantren rusak, dan berbagai fasilitas lainnya.7 Konflik fase ketiga adalah yang paling
berdarah dalam rangkaian kasus Poso. Konflik Poso diakhiri dengan penangkapan
dan penahanan para tersangka, di antaranya adalah hukuman mati terhadap
Fabianus Tibo dan penangkapan beberapa warga dari pihak Islam.
Dalam konflik Poso, institusi agama, seperti gereja dan ormas Islam turut
campur. Kasus Poso fase kedua dan ketiga menyebabkan mobilisasi massa dengan
menggunakan jaringan agama masing-masing. Gereja menjadi tempat untuk
mobilisasi massa Kristen, sementara itu Ormas-ormas Islam menjadi sarana untuk
mengumpulkan dukungan untuk membantu sesama muslim.
Secara acak, konflik Poso masih belum sepenuhnya reda sampai beberapa waktu
kemudian dengan adanya mutilasi tiga orang siswi Kristen dan pembunuhan seorang
pendeta. Kasus Poso kemudian juga menarik perhatian internasional, terutama
setelah terjadinya kasus World Trade Centre 11 September 1999. pemerintah
Indonesia mendapatkan tekanan dari pihak asing untuk menyelesaikan kasus Poso
dan menekan kelompok-kelompok Islam yang dituduh sebagai Jemaat Islamiyah.
Konflik Islam-Krisren ini adalah termasuk
konflik yang memakan korban yang banyak dan memakan waktu yang lama yaitu mulai
pada tahun 1999 sampai 2002, serta mengundang perhatian dari elemen-elemen masyarakat di tingkat
nasional maupun internasional. Konflik tersebut bermula di kota Ambon, namun
pada perkembangannya merembet ke daerah-daerah lain, seperti Ternate, Tidore,
dan Halmahera.
Menurut Jan S. Aritonang, konflik di Maluku sebenarnya
sudah lama terjadi, bahkan semenjak abad ke-16. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Kerukunan Umat Beragama (LPKUB), 5 tahun
sebelum konflik berbagai ketegangan terjadi antara dua kelompok pemeluk agama
yang berbeda tersebut telah terjadi berbagai ketegangan antara kedua belah
kelompok, yang meliputi masalah-masalah berikut:
a.
Pernikahan beda agama (71 kasus)
b.
Pendirian tempat ibadah (51 kasus)
c.
Penyiaran agama (48 kasus)
d.
Penodaan terhadap agama (37 kasus)
e.
Kegiatan aliran sempalan (35 kasus)
f.
Perayaan
hari-hari besar agama (32 kasus)
g.
Bantuan luar negeri (21 kasus)
h.
Lainnya (5 kasus)