Al Qur’an
dan IPTEK
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Paradigma
kemajuan Ilmu Pendidikan dan Teknologi (IPTEK) saat ini, seringkali membuat
manusia merasa bahwa dirinya melebihi kepintaran siapapun. Padahal, sungguh tak
dapat dan tak boleh diragukan lagi bahwasanya, hanya Allah SWT lah yang pantas
mengatakan dirinya paling pintar dan paling segalanya diatas bumi ini. Al
Qur’an adalah salah satu bukti dari kedigdayaannya Allah SWT. Karena Segala
Ilmu yang ada diseluruh Alam semesta semuanya telah dibahas di dalam Al Qur’an.
Al Qur’an
sebagai kitab terakhir yang diwahyukan Allah SWT kebumi ini, disebut pula
sebagai kitab penyempurna dan paling sempurna diantara kitab-kitab lain yang
diturunkan sebelumnya. Maka selayaknyalah kita sebagai muslim menjadikan kitab
Al Qur’an ini sebagai kitab panutan kita dalam segala tindakan, termasuk ketika
kita mencari ilmu pengetahuan.
Seringkali
para Ilmuan barat menjadikan beberapa teori para filsuf sebagai landasan teori
bagi mereka, dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Padahal bila diteliti lebih
baik, teori-teori para filsuf itu, hanyalah sebuah teori dari hasil
rasionalisasi otak manusia yang serba terbatas, kualitas dan kapasitasnya pun
sulit dijamin 100 %.
Dengan
melihat kasus diatas, akan timbul sebuah pertanyaan besar dalam benak kita.
Bahwa teori apakah yang bisa dijadikan pondasi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan ?. Maka dengan pertanyaan tersebut, haruslah ada keterbukaan
bagi para ilmuan untuk lebih jauh menelaah keterkaitan antara Al Qur’an dengan
fenomena-fenomena ilmu pengetahuan. Dengan inipun penulis mencoba membahas
beberapa keterkaitan antara Al Qur’an dan IPTEK.
1.2
Identifikasi Masalah
Dalam
tulisan ini saya mencoba mencari jawaban dari beberapa permasalahan atau
pertanyaan yang menghubungkan antara Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan maupun
teknologi. Adapun masalah-masalah itu, diantaranya adalah :
- Seberapa besarkah unsur logika yang dipakai dalam Al Quran, sebagai sumber ilmu pengetahuan ?
- Bagaimanakah pembahasan Al Qur’an tentang beberapa fenomena Ilmu Pengetahuan yang terjadi ?
- Bagaimanakah pembahasan Al Qur’an tentang anjuran dalam pengembangan atau pencarian Ilmu Pengetahuan ?
1.3 Tujuan
Penulisan
Sebagaimana
telah disinggung dalam bagian latar belakang dan Identifikasi masalah, penulis
menginginkan sebuah penelaahan yang lebih objektif dalam mencari kesinambungan
antara perkembangan ilmu pengetahuan dengan Ayat-ayat Al Qur’an.
1.4
Metodologi Penulisan
Dalam
penulisan ini, penulis memakai metode deskriptif, dengan ditambah oleh beberapa
argumentasi dari penulis dan beberapa tokoh.
BAB II
KETERKAITAN ANTARA
AL QUR’AN DAN PERKEMBANGAN
ILMUPENGETAHUAN
2.1 Al
Qur’an Sebuah Logika yang Mempunyai Prinsip dan Landasan
Sebenarnya
ada beberapa ilmuan barat dan para ateis yang mempercayai dan mengegumi
kebesaran Al Qur’an. Akan tetapi, sayangnya secara logika, mereka masih
meragukan sumber aslinya. Allah SWT sendiri, Dzat yang menurunkan Al Qur’an
telah mempergunakan berbagai macam dalil dan argumen untuk meghilangkan
keraguan itu.
Sesungguhnya
orang-orang yang tidak percaya dengan kebesaran Rabb, orang-orang yang tidak
mau menerima kebenaran, dan orang-orang yang meragukan ayat-ayat Allah SWT.
Mereka adalah orang-orang yang memperoleh dan mengenyam pendidikan serta
keilmuan tinggi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan, apabila mereka
mengenggap diri mereka sebagai pemikir yang ulung. Akan tetapi, pada
hakikatnya, mereka itu adalah orang-orang kerdilyang dangkal pemikirannya.
Mereka layaknya seperti orang kerdil yang mengalami pertumbuhan badan yang
tidak sempurna pada salah satu anggota tubuhnya. Seperti, umpamanya,
kepalanya besar sedangkan tubuhnya kecil dan pendek. Allah SWT pasti akan
bertanya kepada mereka. Namun, sebelum kita menerangkan pertanyaan Allah SWT
tersebut, maka terlebih dahulu ada pertanyaan yang akan menghadang mereka.
Sebenarnya
pertanyaan yang ditanyakan pada mereka adalah sebagai berikut, “ Wahai Andda
sekalian orang-orang yang mempunyai Ilmu pengetahuan yang luas ddan tinggi,
sebagaimana saya ketahui, Anda telah mempelajari astronomi dan ilmu luar angkas
lainnya secara mendalamdengan menggunakan alat pembesar (teleskop), sehingga
anda mengetahui kondisi luar angkasa dengan jelas. Maka sekarang, mampukah Anda
memberi penjelasan kepada kami,’Sebenarnya, menurut pendapat kalian, bagaimana
awal mula terciptanya alam semesta?”
Sang ilmuwan
tersebut, meskipun sebenarnya mereka juga membutuhkan sesuatu yang bersifat
spiritual, tetapi mereka akan merasa lebih “nyaman” apabila mereka
mempergunakan logika dan pengetahuan mereka, pasti akan langsung menjawab,
“Baiklah! Sebenarnya, terciptanya alam semesta ini sudah dimulai sejak jutaan
tahun yang silam, yaitu manakala alam ini masih berbentuk satu gumpalan yang
maha besar. Setelah itu, terjadilah peristiwa ledakan besar, atau yang lebih
populer disebut sebagai big bang, di pusat gumpalan besar tersebut. Kemudian
bagian-bagian gumpalan itu berserakan di pelbagai arah. Dari peristiwa ledakan
besar tersebut, maka mulai terbentuklah berbagai galaksi, susunan tata surya,
matahari, planet, meteor, bintang-gemintang dan lain sebagainya. Sejak saat
itu, yaitu setelah terjadinya ledakan besar tersebut, tidak pernah lagi terjadi
suatu perubahan apapun pada alam semesta ini. Maka, mulailah bintang-bintang
dan planet-planet berjalan pada rotasinya masing-masing.”
Setelah
mendengarkan penjelasan tentang terjadinya alam semesta dan luar angkasa dari
para ilmuwan tersebut, pikiran saya tertuju pada suatu kesimpulan bahwasanya
para penganut paham materialisme itu secara tidak langsung telah mengambil
pengetahuannya dari Al-Qur’an surat Yaasiin yang artinya sebagai berikut:
“Dan
matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha
Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan
manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir)
kembalilah dia sebagi bentuk tandan yang tua.
Tidaklah
mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan matahari tidak dapat mendahului
siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya” (Yaasiin: 38-40)
Ilmuwan yang
tidak percaya kepada Rabb-Nya (ateis) tadi melanjutkan penjelasannya. “Bumi yang
kita tempati ini, “katanya, sebenarnya terus berkembang. Benda-benda angkasa,
seperti bintang-bintang dan planet-planet lain, akan terus menjauhi bumi kita
dengan tingkatan rata-rata yang selalu bertambah. Bahkan, ada bintang yang
jaraknya dari bumi kita diukur dengan kecepatan rata-rata cahaya. Maka tidak
heran, apabila ada beberapa benda angkasa yang tidak dapat kita lihat secara
langsung. Oleh karena itu, kita harus membuat beberapa teleskop yang lebih
besar dan handal dari yang sebelumnya hingga kita dapat mempelajari benda-benda
angkasa tersebut secara intensif. Sebab, kalau kita tidak mengupayakannya
sesegera mungkin, maka pada akhirnya kita akan kehilangan “kontak” dengannya.”
Kemudian
saya bertanya kepadanya, “Sebenarnya, sejak kapan Anda mulai menemukan
kisah-kisah takhayul ini?”
Tetapi,
ilmuwan tersebut menegaskan, “Ini bukanlah kisah-kisah takhayul. Akan tetapi,
ini adalah kebenaran data kenyataan ilmiah.”
Kemudian,
saya pun berkata, “Baiklah. Saya akan menerima kebenaran ilmiah yang telah Anda
jelaskan kepada saya tadi. Tetapi, katakanlah dengan jujur, sejak kapan Anda
menemukan kebenaran-kebenaran tersebut?”
Ilmuwan
tersebut langsung menjawab, “Baru saja kemarin!” Dengan demikian, masa lima
puluh tahun yang silam dapat dianggap sebagai hari kemarin dalam pemahaman
sejarah manusia.
“Lalu,
bagaimana menurut pendapat Anda, “lanjut saya, “dengan seorang lelaki Arab
(Nabi Muhammad) yang tidak dapat membaca dan menulis serta hidup di tengah
padang pasir sejak seribu empat ratus yang silam. Menurut Anda, mungkinkah ia
mengetahui adanya ledakan besar ataupun dunia yang terus berkembang ini?”
Dengan cepat
sang ilmuwan yang tidak percaya akan adanya Allah ini menjawab, “Tentu saja
tidak.”
“Baiklah,
“jawab saya. “Sekarang silahkan Anda dengar wahyu Allah yang diterima Nabi yang
berbangsa Arab tersebut!”
“Dan
apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah satu yang berpadu, kemudian kami pisahkan antara
keduanya.” (al-Anbiyaa: 30)
2.2 Beberapa
Pembuktian Keterkaitan Al Qur’an dan ilmu Pengetahuan
2.2.1 Teori
Bigbang
Tahukah Anda
bahwa kalimat “orang-orang yang kafir” pada ayat Al-Qur’an yang telah disebut
di atas ditujukan kepada Anda wahai para ilmuwan geologi, astronomi, dan ruang
angkasa! Karena, setelah kalian memperoleh penemuan ilmiah yang amat
menakjubkan ini, kemudian kalian persembahkan kepada umat manusia, tetapi –
sayangnya – kalian belum dapat mengetahui siapa penciptanya?
Thomas
Carliel pernah berkata, “Dengan berbagai ilmu pengetahuan yang kita miliki,
ironisnya, kita sengaja melupakan Sang Pencipta dalam laboratorium penelitian
kita ini.”
Maka,
bagaimana mungkin Muhammad Rasul dan utusan Allah yang lahir di tanah padang
pasir itu, akan terlebih dahulu mengetahui dan memahami penemuan Anda ini
sejak 1400 tahun yang silam, jikalau tidak ia memperoleh informasinya langsung
dari Allah SWT, Dzat Pencipta ledakan besar tersebut?
2.2.2 Asal
Usul Kehidupan
“Sekarang
saya akan bertanya kepada Anda hai ilmuwan dalam bidang ilmu biologi! Anda telah
menyatakan kepada khalayak ramai bahwa Anda telah meneliti asal usul kehidupan
di dunia ini. Akan tetapi, ironisnya, Anda melupakan atau mungkin berpura-pura
lupa – Sang Pencipta kehidupan itu, yaitu Allah. Maka tolong berikan informasi
kepada saya, berdasarkan penelitian dan pengamaan Anda tersebut, dari mana asal
usul kehidupan di dunia ini?”
Ilmuan yang
ahli dalam tersebut menjawab sama seperti rekan ateisnya yang ahli dalam bidang
ilmu astronomi, “Baiklah, akan saya terangkan kepada Anda asal usul kehidupan
di dunia ini. Sebenarnya, sejak milyaran tahun yang silam, bahan sel
protoplasma (zat hidup pada tumbuhan dan hewan pen) pertama telah terbentuk di
dasar laut. Setelah itu, berangsur-angsur terciptalah amuba (binatang bersel
satu tanpa bentuk tetap, pen). Dan dari lumpur yang terdapat di dasar laut
inilah berawal semua makhluk hidup dan kehidupan di dunia ini. Atau dengan kata
lain, kehidupan di dunia ini berasal dari air, yaitu air laut.”
Kemudian
saya bertanya lagi kepadanya, “Kapan Anda mulai menemukan kebenaran dan
kenyataan ilmiah bahwa semua makhluk hidup di dunia ini berasal dari air?”
Rupanya
ilmuwan yang ahli dalam ilmu biologi ini menjawab sama seperti temannya yang
ahli dalam bidang astronomi sebelumnya, “Baru saja kemarin.”
Lalu saya
bertanya kepadanya, “Menurut pendapat Anda, apakah mungkin seorang ilmuwan,
atau filosof, ataupun penyair akan menduga sebelumnya tentang penemuan biologi
Anda ini sejak seribu empat ratus tahun yang silam?”
Ilmuwan yang
ahli dalam biologi itu menjawab, “Tenu saja tidak mungkin!”
“Baiklah!”
jawab saya, “Sekarang, perhatikanlah bunyi wahyu yang diterima oleh Muhammad,
seorang lelaki Arab yang pernah hidup seribu empat ratus tahun yang silam, yang
mana ia tidak bisa membaca dan menulis serta hidup di tengah padang pasir,
berikut ini”
“Dan dari
air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga
beriman?”
(al-Anbiyaa: 30)
Lebih dari
itu, Allah telah menerangkan secara terperinci penjelasan ayat tersebut di atas
pada surat lain yang berbunyi sebagai berikut:
“Dan Allah
telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada
yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang
sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (an-Nuur: 45)
Kalau Anda
perhatikan kalimat-kalimat dari ayat Allah tersebut di atas dengan seksama,
maka Anda akan memahami bahwasanya kalimat-kalimat tersebut di atas sepertinya
memang sengaja ditujukan kepada Anda, para ilmuwan, sebagai reaksi atas aliran
skeptisme yang Anda anut selama ini. Dan sebenarnya, kalimat-kalimat pada ayat
tersebut telah lama bergaung di daerah padang pasir sejak seribu empat ratus
tahun yang silam.
Sesungguhnya,
Allah dengan ayat- ayat ini, mengajak Anda berdialog, “Mengapa kamu hai para
ilmuwan tidak percaya kepada-Ku? Pada hakikatnya, kamulah sebagai pelopor yang
menganjurkan orang lain untuk percaya kepada-Ku. Tetapi, malah sebaliknya,
kamulah orang-orang yang pertama mengingkari keberadaan-Ku. Apakah yang
melalaikanmu, hingga mata hatimu terpedaya untuk melihat kebenaran hakiki
melalui perantaraan ilmumu?”
Sementara
itu, bagi para ilmuan yang ahli dalam bidang ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu hewan,
dan ilmu alam tetapi mereka mengingkari keberadaan Allah, maka di sini akan
saya persilahkan bagi mereka untuk menafsirkan bunyi wahyu Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad, di bawah ini.
“Mahasuci
Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya,, baik dari apa yang
ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka
ketahui.”(Yaasin: 36)
“Sebenarnya,
“jelas Abdullah Yusuf Ali, seorang penafsir Al-Qur’an ke dalam bahasa lnggris,
“misteri jenis kelamin itu berlaku pada semua makhluk ciptaan Allah baik itu
pada manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan juga segala sesuatu yang belum
kita ketahui. Dengan demikian, di sana ada berbagai pasangan kekuatan yang
berlawanan dalam alam ini, seperti kekuatan listrik yang positif dan negatif.
Bahkan, atom itu sendiri pada terdiri dari suatu inti yang berisi positif atau
proton, dikelilingi oleh elektron yang berisi negatif. Sementara susunan bahan
itu sendiri menunjukkan adanya pasangan kekuatan yang saling berlawanan.”
2.3 Anjuran
Al Qur’an Dalam Pencarian Ilmu Pengetahuan
“Pada
prinsipnya, “ucap Maulana Syekh Abdul Alim, “Al-Qur’an selalu menganjurkan kaum
muslimin pada khususnya dan umat manusia pada umumnya untuk mengkaji ilmu-ilmu
alam. Tentunya, hal ini suatu keunikan tersendiri di mana Al-Qur’an berbeda
dengan kitab-kitab suci lainnya di dunia ini. Al-Qur’an sangat menganjurkan
kita, kaum muslimin, untuk mempelajari dan mendalami pengetahuan tentang
fenomena alam di sekitar kita. Dengan demikian dapat kita tarik suatu
kesimpulan bahwa mempelajari ilmu-ilmu tersebut merupakan suatu kewajiban bagi
mereka.
Sebagaimana
kita ketahui, bahwa segala sesuatu di alam semesta ini diciptakan untuk
mengabdi kepada manusia. Dengan demikian, alam semesta ini ditakdirkan untuk
mengabdi demi kepentingan dari kemaslahatan umat manusia.
Oleh karena
itu, tidaklah mengherankan apabila Al-Qur’an menganjurkan kepada kita, kaum
muslimin, untuk mempelajari ilmu fisiologi manusia, ilmu fisiologi binatang dan
jenis-jenisnya, ilmu fisiologi tumbuh-tumbuhan dan jenis-jenisnya. Kesemuanya
itu, tentunya, termasuk dalam pembahasan ilmu biologi.
Selain itu,
Al-Qur’an juga menganjurkan kita untuk mempelajari interpretasi hukum-hukum
alam yang terangkum dalam ilmu alam.
Al-Qur’an
juga menganjurkan kita untuk mempelajari unsur-unsur dalam suatu benda, baik
itu persenyawaan ataupun pemisahannya, yang terdapat dalam ilmu kimia.
Tak segan
pula Al-Qur’an menganjurkan kita, kaum muslimin, untuk mempelajadi susunan
mineral bumi dan lapisan-lapisannya yang terdapat dalam ilmu geologi. Begitu
pula Al-Qur’an menganjurkan kita untuk mengkaji dan mendalami karakteristik
bola dunia kita secara umum, baik itu dari samudera, lautan, sungai, gunung,
dataran rendah dan lain sebagainya; baik itu penghasilan alamnya, tumbuh-tumbuhan,
dan hewan-hewan di atas bumi. Tentunya kesemua hal itu dapat kita pelajari
dalam ilmu geografi.
Di lain
kesempatan Al-Qur’an juga menganjurkan kita, kaum muslimin, untuk mengkaji
fenomena terjadinya malam dan siang, pergantian musim, pergerakan
planet-planet, dan fenomena alam lainnya melalui ilmu falak (astronomi).
Bahkan,
Al-Qur’an menganjurkan kita, kaum muslimin, untuk mempelajari pergerakan cuaca,
angin, awan-awan di langit, turunnya hujan dan lain sebagainya dalam ilmu meteorologi.
Dahulu,
selama beberapa abad lamanya kaum muslimin merupakan pemimpin dunia dalam
bidang ilmu pengetahuan. Akan tetapi, sayangnya, perlahan-lahan kendali
kepemimpinan itu terlepas dari tangan mereka.
Kini,
sepertinya, kaum muslimin mulai terhempas dari kepemimpinan tersebut dan
beralihlah orang-orang barat yang materialistis memegang tali kendalinya dari
mereka.”
Sebagai
tambahan dari ceramah tersebut di atas, Syekh Maulana Abdul Alim juga menjelaskan
tentang pengaruh dan kontribusi kaum muslimin dalam bidang ilmu pengetahuan
seraya berkata, “Sesungguhnya revolusi ilmiah yang dicetuskan Islam adalah
sebuah revolusi yang maha besar. Kala itu, kaum muslimin tidak meninggalkan
satu disiplin ilmu apapun kecuali mereka pasti akan mempelajarinya – dan bahkan
mereka malah memuliakannya serta meletakkannya pada posisi yang mulia.
Pada
prinsipnya, Islam itu mempunyai tujuan mulia yaitu membentuk masyarakat Islam
sebagai masyarakat yang berpikir bebas dan berwawasan luas. Bahkan di antara
tujuan utama Islam adalah menyebarkan benih-benih ilmu pengetahuan di kalangan
kaum muslimin pada khususnya dan umat manusia pada umumnya.
Maka
tidaklah mengherankan apablia ada ungkapan yang menyatakan bahwa kalau bukan
karena peran kaum muslimin kala itu, maka benua Eropah tentu tidak akan pernah
mengenal masa kebangkitan Eropah (renaissance) ataupun fajar kebangkitan ilmiah
modern.
Kalau kita
perhatikan dengan seksama bangsa-bangsa yang memperoleh ilmu pengetahuannya
dari Eropa, maka sebenarnya, secara tidak langsung, mereka itu telah belajar
dari kaum muslimin. Bahkan, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa umat
manusia di seluruh dunia, secara keseluruhan, telah berhutang budi kepada
Islam.”
Akhirnya,
Syekh Maulana Abdul Alim mengakhiri penjelasannya tentang “Kaum Muslimin
Peletak Benih-Benih ilmu Pengetahuan” dengan ucapan, “Sebelum saya akhiri
ceramah ini, maka izinkanlah saya untuk menegaskan sekali lagi bahwa masyarakat
Islam itu sendirilah sebenarnya yang berperan untuk memajukan dan mengangkat
ajaran-ajaran Islam sebagai wahyu Allah yang mulia.
Sebenarnya,
yang menjadi kepribadian seorang muslim itu adalah iman dan amal perbuatannya
sekaligus. Islam telah mewajibkan kaum muslimin untuk mencari esensi (hakikat)
segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Karena, upaya penelitian seorang muslim
untuk memahami seluk-beluk makhluk-makhluk yang ada di alam semesta ini pasti
akan menambah pengetahuan dan keimanannya kepada Sang Pencipta.
Namun
demikian harus kita pahami bahwa penelitian ilmiah dalam Islam bukanlah tujuan
akhir untuk menebalkan keimanan kita kepada Allah. Tetapi, ia hanyalah suatu
wasilah atau cara untuk mencapai kepada tujuan akhir yang lebih tinggi, yaitu
menyadari bahwa kita semua ini adalah hamba Allah yang fana dan pasti akan
kembali kepada-Nya.
“Sesungguhnya
kami ini adalah milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kami pasti akan kembali.”
(al-Baqarah: 156)
Sebenarnya,
saya merasa sangat beruntung dapat mendengarkan isi ceramah yang disampaikan
oleh Syekh Abdul Alim pada tahun 1934. Hingga akhirnya, di akhir tahun tiga
puluhan, saya memperoleh beberapa isi ceramahnya dalam bentuk satu eksemplar
buku. Lalu saya membaca dan mempelajari buku tersebut dengan penuh antusias.
Kebetulan
pada saat itu saya tengah bekerja di Salah satu toko milik salah seorang muslim
di Central Adam Missionary, sedangkan saya pada saat itu memang sangat gemar
berdiskusi dengan para pelajar dan mahasiswa mengenai isi ceramah Syekh Abdul
Alim tersebut.
Kemudian di
lain waktu, saya diberikan kesempatan untuk menyampaikan ceramah di hadapan
para pastor dan pendeta yang telah terlatih – hingga akhirnya saya harus
menyiapkan ceramah tersebut untuk beberapa hari lamanya. Sejak saat itu, saya
pun mulai aktif dalam bidang da’wah, meskipun ada beberapa rekan saya yang
merasa keberatan menjalankan kewajiban da’wah tersebut dengan alasan karena
takut rugi usahanya:
“Katakanlah,
“jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, keluargamu,
harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya,
dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada
Allah dan Rasul-Nya, dan (dari) jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik.” (at-Taubah: 24).
BAB 111
KESIMPULAN
Al Qur’an
sebagai kitab suci ummat Islam, seringkali diragukan dalam hal keterkaitannya
dengan ilmu pengetahuan. Hal ini tentulah menjadi suatu tantangan tersendiri
bagi ummat islam untuk menelaah lebih jauh kandungan dan isi dari kitabnya
tersebut.
Sebenarnya,
bila kita telaah ayat per ayat dalam Al Qur’an, keraguan akan keabsahan dan
kualitas materi kitab ini bisa terjawab dengan mudah. Maka, hanya orang-orang
yang mengamati dan memperhatikan Al Qur’an dengan cermatlah, yang akan
mendapatkan tanda-tanda kebesaran Allah SWT dan kebenaran Al Qur’an pada setiap
penemuan ilmiah yang diperoleh oleh manusia.
Al Qur’an
menganjurkan manusia untuk mencari ilmu pengetahuan yang terdapat di langit dan
bumi. Namun tentulah hal tiu jangan sampai menyimpang dari apa yang telah
digariskan dan dibatasi oleh Allah SWT sebagaimana tetera dalam Al Qur’an.
Beberapa
bukti autentik dari penelitian-penelitian ilmiah tentang alam yang telah
dilakukan sampai saat ini, setidaknya telah menjadi bukti bahwa kandungan Al
Qur’an tentang ilmu dan fenomenanya sangatlah benar apa adanya. Maka, sebaiknya
mulai saat ini seluruh umat islam dan seluruh kamu ilmuan sadar, bahwa
kandungan Al Quran tentang ilmu pengetahuan tidak dapat diragukan lagi. Damn
tentulah hal ini ditujukan pada, penguatan akan adanya pencipta Al Qur’an itu
sendiri, yang tiada lain adalah Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’anul
Karim
Arifin, Bey,
1991, Mengenal Tuhan, Srabaya : PT Bina Ilmu
Arifin, M,
H, 1993, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara
Deedat, Ahmad,
2003, Al Qur’an Mu’jizat Yang Tak Tertandingi, Jakarta : Pustaka
An-naba
Lee,D,
Robert, 1997, Mencari Islam Autentik, Bandung : Mizan
Rahman,
Fazlur, 1984, Islam,Bandung : Pustaka
Ranuwijaya,
Utang. 1996, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama
Shihab,
Alwi, Dr, 1999, Islam Inklusif, Bandung : Mizan
Suma, amin,
1997, Tafsir Ahkam , Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar