Sabtu, 17 November 2012


Al Qur’an dan IPTEK
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Paradigma kemajuan Ilmu Pendidikan dan Teknologi (IPTEK) saat ini, seringkali membuat manusia merasa bahwa dirinya melebihi kepintaran siapapun. Padahal, sungguh tak dapat dan tak boleh diragukan lagi bahwasanya, hanya Allah SWT lah yang pantas mengatakan dirinya paling pintar dan paling segalanya diatas bumi ini. Al Qur’an adalah salah satu bukti dari kedigdayaannya Allah SWT. Karena Segala Ilmu yang ada diseluruh Alam semesta semuanya telah dibahas di dalam Al Qur’an.
Al Qur’an sebagai kitab terakhir yang diwahyukan Allah SWT kebumi ini, disebut pula sebagai kitab penyempurna dan paling sempurna diantara kitab-kitab lain yang diturunkan sebelumnya. Maka selayaknyalah kita sebagai muslim menjadikan kitab Al Qur’an ini sebagai kitab panutan kita dalam segala tindakan, termasuk ketika kita mencari ilmu pengetahuan.
Seringkali para Ilmuan barat menjadikan beberapa teori para filsuf sebagai landasan teori bagi mereka, dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Padahal bila diteliti lebih baik, teori-teori para filsuf itu, hanyalah sebuah teori dari hasil rasionalisasi otak manusia yang serba terbatas, kualitas dan kapasitasnya pun sulit dijamin 100 %.
Dengan melihat kasus diatas, akan timbul sebuah pertanyaan besar dalam benak kita. Bahwa teori apakah yang bisa dijadikan pondasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan ?.  Maka dengan pertanyaan tersebut, haruslah ada keterbukaan bagi para ilmuan untuk lebih jauh menelaah keterkaitan antara Al Qur’an dengan fenomena-fenomena ilmu pengetahuan. Dengan inipun penulis mencoba membahas beberapa keterkaitan antara Al Qur’an dan IPTEK.
1.2 Identifikasi Masalah
Dalam tulisan ini saya mencoba mencari jawaban dari beberapa permasalahan atau pertanyaan yang menghubungkan antara Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan maupun teknologi. Adapun masalah-masalah itu, diantaranya adalah :
  1. Seberapa besarkah unsur logika yang dipakai dalam Al Quran, sebagai sumber ilmu pengetahuan ?
  2. Bagaimanakah pembahasan Al Qur’an tentang beberapa fenomena Ilmu Pengetahuan yang terjadi ?
  3. Bagaimanakah pembahasan  Al Qur’an tentang anjuran dalam pengembangan atau pencarian Ilmu Pengetahuan ?
1.3 Tujuan Penulisan
Sebagaimana telah disinggung dalam bagian latar belakang dan Identifikasi masalah, penulis menginginkan sebuah penelaahan yang lebih objektif dalam mencari kesinambungan antara perkembangan ilmu pengetahuan dengan Ayat-ayat Al Qur’an.
1.4 Metodologi Penulisan
Dalam penulisan ini, penulis memakai metode deskriptif, dengan ditambah oleh beberapa argumentasi dari penulis dan beberapa tokoh.
BAB II
KETERKAITAN ANTARA
AL QUR’AN DAN PERKEMBANGAN
ILMUPENGETAHUAN
2.1 Al Qur’an Sebuah Logika yang Mempunyai Prinsip dan Landasan
Sebenarnya ada beberapa ilmuan barat dan para ateis yang mempercayai dan mengegumi kebesaran Al Qur’an. Akan tetapi, sayangnya secara logika, mereka masih meragukan sumber aslinya. Allah SWT sendiri, Dzat yang menurunkan Al Qur’an telah mempergunakan berbagai macam dalil dan argumen untuk meghilangkan keraguan itu.
Sesungguhnya orang-orang yang tidak percaya dengan kebesaran Rabb, orang-orang yang tidak mau menerima kebenaran, dan orang-orang yang meragukan ayat-ayat Allah SWT. Mereka adalah orang-orang yang memperoleh dan mengenyam pendidikan serta keilmuan tinggi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan, apabila mereka mengenggap diri mereka sebagai pemikir yang ulung. Akan tetapi, pada hakikatnya, mereka itu adalah orang-orang kerdilyang dangkal pemikirannya. Mereka layaknya seperti orang kerdil yang mengalami pertumbuhan badan yang tidak sempurna pada salah satu anggota tubuhnya. Seperti, umpamanya, kepalanya  besar sedangkan tubuhnya kecil dan pendek. Allah SWT pasti akan bertanya kepada mereka. Namun, sebelum kita menerangkan pertanyaan Allah SWT tersebut, maka terlebih dahulu ada pertanyaan yang akan menghadang mereka.
Sebenarnya pertanyaan yang ditanyakan pada mereka adalah sebagai berikut, “ Wahai Andda sekalian orang-orang yang mempunyai Ilmu pengetahuan yang luas ddan tinggi, sebagaimana saya ketahui, Anda telah mempelajari astronomi dan ilmu luar angkas lainnya secara mendalamdengan menggunakan alat pembesar (teleskop), sehingga anda mengetahui kondisi luar angkasa dengan jelas. Maka sekarang, mampukah Anda memberi penjelasan kepada kami,’Sebenarnya, menurut pendapat kalian, bagaimana awal mula terciptanya alam semesta?”
Sang ilmuwan tersebut, meskipun sebena­rnya mereka juga membutuhkan sesuatu yang bersifat spiritual, tetapi mereka akan merasa lebih “nyaman” apabila mereka mempergunakan logika dan pengetahuan mereka, pasti akan langsung menjawab, “Baiklah! Sebenarnya, terciptanya alam semesta ini sudah dimulai sejak jutaan tahun yang silam, yaitu manakala alam ini masih berbentuk satu gumpalan yang maha besar. Setelah itu, terjadilah peristiwa ledakan besar, atau yang lebih populer disebut sebagai big bang, di pusat gumpalan besar tersebut. Kemudian bagian-bagian gumpalan itu ber­serakan di pelbagai arah. Dari peristiwa ledakan besar tersebut, maka mulai terbentuklah berbagai galaksi, susunan tata surya, matahari, planet, meteor, bintang-gemintang dan lain sebagainya. Sejak saat itu, yaitu setelah terjadinya ledakan besar tersebut, tidak pernah lagi terjadi suatu perubahan apapun pada alam semesta ini. Maka, mulailah bintang-bintang dan planet-planet berjalan pada rotasinya masing-masing.”
Setelah mendengarkan penjelasan tentang terjadinya alam semesta dan luar angkasa dari para ilmuwan tersebut, pikiran saya tertuju pada suatu kesimpulan bahwasanya para penganut paham materialisme itu secara tidak langsung telah mengambil pengetahuannya dari Al-Qur’an surat Yaasiin yang artinya sebagai berikut:
“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sam­pai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagi bentuk tandan yang tua.
Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan matahari tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya” (Yaasiin: 38-40)
Ilmuwan yang tidak percaya kepada Rabb­-Nya (ateis) tadi melanjutkan penjelasannya. “Bumi yang kita tempati ini, “katanya, sebenarnya terus berkembang. Benda-benda angkasa, seperti bintang-bintang dan planet-planet lain, akan terus menjauhi bumi kita dengan tingkatan rata-rata yang selalu bertambah. Bahkan, ada bintang yang jaraknya dari bumi kita diukur dengan kecepatan rata-rata cahaya. Maka tidak heran, apabila ada beberapa benda angkasa yang tidak dapat kita lihat secara langsung. Oleh karena itu, kita harus membuat beberapa teleskop yang lebih besar dan handal dari yang sebelumnya hingga kita dapat mempelajari benda-benda angkasa tersebut secara intensif. Sebab, kalau kita tidak mengupayakannya sesegera mungkin, maka pada akhirnya kita akan kehilangan “kontak” dengannya.”
Kemudian saya bertanya kepadanya, “Sebenarnya, sejak kapan Anda mulai menemukan kisah-kisah takhayul ini?”
Tetapi, ilmuwan tersebut menegaskan, “Ini bukanlah kisah-kisah takhayul. Akan tetapi, ini adalah kebenaran data kenyataan ilmiah.”
Kemudian, saya pun berkata, “Baiklah. Saya akan menerima kebenaran ilmiah yang telah Anda jelaskan kepada saya tadi. Tetapi, katakanlah dengan jujur, sejak kapan Anda menemukan kebenaran-kebenaran tersebut?”
Ilmuwan tersebut langsung menjawab, “Baru saja kemarin!” Dengan demikian, masa lima puluh tahun yang silam dapat dianggap sebagai hari kemarin dalam pemahaman sejarah manu­sia.
“Lalu, bagaimana menurut pendapat Anda, “lanjut saya, “dengan seorang lelaki Arab (Nabi Muhammad) yang tidak dapat membaca dan menulis serta hidup di tengah padang pasir sejak seribu empat ratus yang silam. Menurut Anda, mungkinkah ia mengetahui adanya ledakan be­sar ataupun dunia yang terus berkembang ini?”
Dengan cepat sang ilmuwan yang tidak per­caya akan adanya Allah ini menjawab, “Tentu saja tidak.”
“Baiklah, “jawab saya. “Sekarang silahkan Anda dengar wahyu Allah yang diterima Nabi yang berbangsa Arab tersebut!”
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak menge­tahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah satu yang berpadu, kemudian kami pisahkan antara keduanya.” (al-Anbiyaa: 30)
2.2 Beberapa Pembuktian Keterkaitan Al Qur’an dan ilmu Pengetahuan
2.2.1 Teori Bigbang
Tahukah Anda bahwa kalimat “orang-orang yang kafir” pada ayat Al-Qur’an yang telah disebut di atas ditujukan kepada Anda wahai para ilmuwan geologi, astronomi, dan ruang angkasa! Karena, setelah kalian memperoleh penemuan ilmiah yang amat menakjubkan ini, kemudian kalian persembahkan kepada umat manusia, tetapi – sayangnya – kalian belum dapat mengetahui siapa penciptanya?
Thomas Carliel pernah berkata, “Dengan berbagai ilmu pengetahuan yang kita miliki, ironisnya, kita sengaja melupakan Sang Pencipta dalam laboratorium penelitian kita ini.”
Maka, bagaimana mungkin Muhammad Rasul dan utusan Allah yang lahir di tanah padang pasir itu, akan terlebih dahulu menge­tahui dan memahami penemuan Anda ini sejak 1400 tahun yang silam, jikalau tidak ia mem­peroleh informasinya langsung dari Allah SWT, Dzat Pencipta ledakan besar tersebut?
2.2.2 Asal Usul Kehidupan
“Sekarang saya akan bertanya kepada Anda hai ilmuwan dalam bidang ilmu biologi! Anda te­lah menyatakan kepada khalayak ramai bahwa Anda telah meneliti asal usul kehidupan di dunia ini. Akan tetapi, ironisnya, Anda melupakan ­atau mungkin berpura-pura lupa – Sang Pencipta kehidupan itu, yaitu Allah. Maka tolong berikan informasi kepada saya, berdasarkan penelitian dan pengamaan Anda tersebut, dari mana asal usul kehidupan di dunia ini?”
Ilmuan yang ahli dalam tersebut menjawab sama seperti rekan ateisnya yang ahli dalam bidang ilmu astronomi, “Baiklah, akan saya terangkan kepada Anda asal usul ke­hidupan di dunia ini. Sebenarnya, sejak milyaran tahun yang silam, bahan sel protoplasma (zat hidup pada tumbuhan dan hewan pen) pertama telah terbentuk di dasar laut. Setelah itu, berangsur-angsur terciptalah amuba (binatang bersel satu tanpa bentuk tetap, pen). Dan dari lumpur yang terdapat di dasar laut inilah berawal semua makhluk hidup dan kehidupan di dunia ini. Atau dengan kata lain, kehidupan di dunia ini berasal dari air, yaitu air laut.”
Kemudian saya bertanya lagi kepadanya, “Kapan Anda mulai menemukan kebenaran dan kenyataan ilmiah bahwa semua makhluk hidup di dunia ini berasal dari air?”
Rupanya ilmuwan yang ahli dalam ilmu biologi ini menjawab sama seperti temannya yang ahli dalam bidang astronomi sebelumnya, “Baru saja kemarin.”
Lalu saya bertanya kepadanya, “Menurut pendapat Anda, apakah mungkin seorang ilmuwan, atau filosof, ataupun penyair akan menduga sebelumnya tentang penemuan biologi Anda ini sejak seribu empat ratus tahun yang silam?”
Ilmuwan yang ahli dalam biologi itu menjawab, “Tenu saja tidak mungkin!”
“Baiklah!” jawab saya, “Sekarang, perhati­kanlah bunyi wahyu yang diterima oleh Muham­mad, seorang lelaki Arab yang pernah hidup seribu empat ratus tahun yang silam, yang mana ia tidak bisa membaca dan menulis serta hidup di tengah padang pasir, berikut ini”
“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (al-Anbiyaa: 30)
Lebih dari itu, Allah telah menerangkan secara terperinci penjelasan ayat tersebut di atas pada surat lain yang berbunyi sebagai berikut:
“Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang ber­jalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (an-Nuur: 45)
Kalau Anda perhatikan kalimat-kalimat dari ayat Allah tersebut di atas dengan seksama, maka Anda akan memahami bahwasanya kalimat-kalimat tersebut di atas sepertinya memang sengaja ditujukan kepada Anda, para ilmuwan, sebagai reaksi atas aliran skeptisme ­yang Anda anut selama ini. Dan sebenarnya, kalimat-kalimat pada ayat tersebut telah lama bergaung di daerah padang pasir sejak seribu empat ratus tahun yang silam.
Sesungguhnya, Allah dengan ayat- ayat ini, mengajak Anda berdialog, “Mengapa kamu hai para ilmuwan tidak percaya kepada-Ku? Pada hakikatnya, kamulah sebagai pelopor yang menganjurkan orang lain untuk percaya kepada­-Ku. Tetapi, malah sebaliknya, kamulah orang­-orang yang pertama mengingkari keberadaan-Ku. Apakah yang melalaikanmu, hingga mata hatimu terpedaya untuk melihat kebenaran hakiki melalui perantaraan ilmumu?”
Sementara itu, bagi para ilmuan yang ahli dalam bidang ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu hewan, dan ilmu alam tetapi mereka mengingkari keberadaan Allah, maka di sini akan saya persilahkan bagi mereka untuk menafsirkan bunyi wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, di bawah ini.
“Mahasuci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya,, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”(Yaasin: 36)
“Sebenarnya, “jelas Abdullah Yusuf Ali, se­orang penafsir Al-Qur’an ke dalam bahasa lnggris, “misteri jenis kelamin itu berlaku pada semua makhluk ciptaan Allah baik itu pada manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan juga segala sesuatu yang belum kita ketahui. Dengan demikian, di sana ada berbagai pasangan kekuatan yang berlawanan dalam alam ini, seperti kekuatan listrik yang positif dan negatif. Bahkan, atom itu sendiri pada terdiri dari suatu inti yang berisi positif atau proton, dikelilingi oleh elektron yang berisi negatif. Sementara susunan bahan itu sendiri menunjukkan adanya pasangan kekuatan yang saling berlawanan.”
2.3 Anjuran Al Qur’an Dalam Pencarian Ilmu Pengetahuan
“Pada prinsipnya, “ucap Maulana Syekh Abdul Alim, “Al-Qur’an selalu menganjurkan kaum muslimin pada khususnya dan umat manusia pada umumnya untuk mengkaji ilmu-ilmu alam. Tentunya, hal ini suatu keunikan tersendiri di mana Al-Qur’an berbeda dengan kitab-kitab suci lainnya di dunia ini. Al-Qur’an sangat menganjurkan kita, kaum muslimin, untuk mempelajari dan mendalami pengetahuan tentang fenomena alam di sekitar kita. Dengan demikian dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa mempelajari ilmu-ilmu tersebut merupa­kan suatu kewajiban bagi mereka.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa segala sesuatu di alam semesta ini diciptakan untuk mengabdi kepada manusia. Dengan demikian, alam semesta ini ditakdirkan untuk mengabdi demi kepentingan dari kemaslahatan umat manusia.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Al-Qur’an menganjurkan kepada kita, kaum muslimin, untuk mempelajari ilmu fisiologi manusia, ilmu fisiologi binatang dan jenis-­jenisnya, ilmu fisiologi tumbuh-tumbuhan dan jenis-jenisnya. Kesemuanya itu, tentunya, termasuk dalam pembahasan ilmu biologi.
Selain itu, Al-Qur’an juga menganjurkan kita untuk mempelajari interpretasi hukum-hukum alam yang terangkum dalam ilmu alam.
Al-Qur’an juga menganjurkan kita untuk mempelajari unsur-unsur dalam suatu benda, baik itu persenyawaan ataupun pemisahannya, yang terdapat dalam ilmu kimia.
Tak segan pula Al-Qur’an menganjurkan kita, kaum muslimin, untuk mempelajadi susunan mineral bumi dan lapisan-lapisannya yang terdapat dalam ilmu geologi. Begitu pula Al-­Qur’an menganjurkan kita untuk mengkaji dan mendalami karakteristik bola dunia kita secara umum, baik itu dari samudera, lautan, sungai, gunung, dataran rendah dan lain sebagainya; baik itu penghasilan alamnya, tumbuh-tumbuh­an, dan hewan-hewan di atas bumi. Tentunya kesemua hal itu dapat kita pelajari dalam ilmu geografi.
Di lain kesempatan Al-Qur’an juga meng­anjurkan kita, kaum muslimin, untuk mengkaji fenomena terjadinya malam dan siang, pergantian musim, pergerakan planet-planet, dan fenomena alam lainnya melalui ilmu falak (astronomi).
Bahkan, Al-Qur’an menganjurkan kita, kaum muslimin, untuk mempelajari pergerakan cuaca, angin, awan-awan di langit, turunnya hujan dan lain sebagainya dalam ilmu meteorologi.
Dahulu, selama beberapa abad lamanya kaum muslimin merupakan pemimpin dunia dalam bidang ilmu pengetahuan. Akan tetapi, sayangnya, perlahan-lahan kendali kepemimpin­an itu terlepas dari tangan mereka.
Kini, sepertinya, kaum muslimin mulai terhempas dari kepemimpinan tersebut dan beralihlah orang-orang barat yang materialistis memegang tali kendalinya dari mereka.”
Sebagai tambahan dari ceramah tersebut di atas, Syekh Maulana Abdul Alim juga men­jelaskan tentang pengaruh dan kontribusi kaum muslimin dalam bidang ilmu pengetahuan seraya berkata, “Sesungguhnya revolusi ilmiah yang dicetuskan Islam adalah sebuah revolusi yang maha besar. Kala itu, kaum muslimin tidak meninggalkan satu disiplin ilmu apapun kecuali mereka pasti akan mempelajarinya – dan bah­kan mereka malah memuliakannya serta meletakkannya pada posisi yang mulia.
Pada prinsipnya, Islam itu mempunyai tujuan mulia yaitu membentuk masyarakat Islam sebagai masyarakat yang berpikir bebas dan berwawasan luas. Bahkan di antara tujuan utama Islam adalah menyebarkan benih-benih ilmu pengetahuan di kalangan kaum muslimin pada khususnya dan umat manusia pada umumnya.
Maka tidaklah mengherankan apablia ada ungkapan yang menyatakan bahwa kalau bukan karena peran kaum muslimin kala itu, maka benua Eropah tentu tidak akan pernah mengenal masa kebangkitan Eropah (renaissance) ataupun fajar kebangkitan ilmiah modern.
Kalau kita perhatikan dengan seksama bangsa-bangsa yang memperoleh ilmu penge­tahuannya dari Eropa, maka sebenarnya, secara tidak langsung, mereka itu telah belajar dari kaum muslimin. Bahkan, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa umat manusia di seluruh dunia, secara keseluruhan, telah berhutang budi kepada Islam.”
Akhirnya, Syekh Maulana Abdul Alim mengakhiri penjelasannya tentang “Kaum Muslimin Peletak Benih-Benih ilmu Pengetahuan” dengan ucapan, “Sebelum saya akhiri ceramah ini, maka izinkanlah saya untuk menegaskan sekali lagi bahwa masyarakat Islam itu sendirilah sebenarnya yang berperan untuk memajukan dan mengangkat ajaran-ajaran Islam sebagai wahyu Allah yang mulia.
Sebenarnya, yang menjadi kepribadian se­orang muslim itu adalah iman dan amal perbuatannya sekaligus. Islam telah mewajibkan kaum muslimin untuk mencari esensi (hakikat) segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Karena, upaya penelitian seorang muslim untuk memahami seluk-beluk makhluk-makhluk yang ada di alam semesta ini pasti akan menambah pengetahuan dan keimanannya kepada Sang Pencipta.
Namun demikian harus kita pahami bahwa penelitian ilmiah dalam Islam bukanlah tujuan akhir untuk menebalkan keimanan kita kepada Allah. Tetapi, ia hanyalah suatu wasilah atau cara untuk mencapai kepada tujuan akhir yang lebih tinggi, yaitu menyadari bahwa kita semua ini adalah hamba Allah yang fana dan pasti akan kembali kepada-Nya.
Sesungguhnya kami ini adalah milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kami pasti akan kembali.” (al-Baqarah: 156)
Sebenarnya, saya merasa sangat beruntung dapat mendengarkan isi ceramah yang disampai­kan oleh Syekh Abdul Alim pada tahun 1934. Hingga akhirnya, di akhir tahun tiga puluhan, saya memperoleh beberapa isi ceramahnya dalam bentuk satu eksemplar buku. Lalu saya membaca dan mempelajari buku tersebut dengan penuh antusias.
Kebetulan pada saat itu saya tengah bekerja di Salah satu toko milik salah seorang muslim di Central Adam Missionary, sedangkan saya pada saat itu memang sangat gemar berdiskusi dengan para pelajar dan mahasiswa mengenai isi ceramah Syekh Abdul Alim tersebut.
Kemudian di lain waktu, saya diberikan kesempatan untuk menyampaikan ceramah di hadapan para pastor dan pendeta yang telah terlatih – hingga akhirnya saya harus menyiap­kan ceramah tersebut untuk beberapa hari lamanya. Sejak saat itu, saya pun mulai aktif dalam bidang da’wah, meskipun ada beberapa rekan saya yang merasa keberatan menjalankan kewajiban da’wah tersebut dengan alasan karena takut rugi usahanya:
“Katakanlah, “jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-­saudara, isteri-isteri, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, dan (dari) jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (at-Taubah: 24).
BAB 111
KESIMPULAN
Al Qur’an sebagai kitab suci ummat Islam, seringkali diragukan dalam hal keterkaitannya dengan ilmu pengetahuan. Hal ini tentulah menjadi suatu tantangan tersendiri bagi ummat islam untuk menelaah lebih jauh kandungan dan isi dari kitabnya tersebut.
Sebenarnya, bila kita telaah ayat per ayat dalam Al Qur’an, keraguan akan keabsahan dan kualitas materi kitab ini bisa terjawab dengan mudah. Maka, hanya orang-orang yang mengamati dan memperhatikan Al Qur’an dengan cermatlah, yang akan mendapatkan tanda-tanda kebesaran Allah SWT dan kebenaran Al Qur’an pada setiap penemuan ilmiah yang diperoleh oleh manusia.
Al Qur’an menganjurkan manusia untuk mencari ilmu pengetahuan yang terdapat di langit dan bumi. Namun tentulah hal tiu jangan sampai menyimpang dari apa yang telah digariskan dan dibatasi oleh Allah SWT sebagaimana tetera dalam Al Qur’an.
Beberapa bukti autentik dari penelitian-penelitian ilmiah tentang alam yang telah dilakukan sampai saat ini, setidaknya telah menjadi bukti bahwa kandungan Al Qur’an tentang ilmu dan fenomenanya sangatlah benar apa adanya. Maka, sebaiknya mulai saat ini seluruh umat islam dan seluruh kamu ilmuan sadar, bahwa kandungan Al Quran tentang ilmu pengetahuan tidak dapat diragukan lagi. Damn tentulah hal ini ditujukan pada, penguatan akan adanya pencipta Al Qur’an itu sendiri, yang tiada lain adalah Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’anul Karim
Arifin, Bey, 1991, Mengenal Tuhan, Srabaya : PT Bina Ilmu
Arifin, M, H, 1993, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara
Deedat, Ahmad, 2003, Al Qur’an Mu’jizat Yang Tak Tertandingi, Jakarta : Pustaka
An-naba
Lee,D, Robert, 1997, Mencari Islam Autentik, Bandung :  Mizan
Rahman, Fazlur, 1984, Islam,Bandung : Pustaka
Ranuwijaya, Utang. 1996, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama
Shihab, Alwi, Dr, 1999, Islam Inklusif, Bandung :  Mizan
Suma, amin, 1997, Tafsir Ahkam , Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar